Sabtu, 29 April 2017

Dahulu Harus Pakai Bis Air, Kini Siswa 3 Dusun Bisa Bersepeda ke Sekolah

KUTAI KARTANEGARA, KOMPAS.com - Jembatan ini masih belum kering benar setelah pagi diguyur hujan. Dari bahan kayu ulin, jembatan jadi semakin hitam karena basah, licin mengilat dan mesti hati-hati menitinya.


Namun, Aldo Saputra dan teman-temannya tidak peduli. Setelah lonceng waktu pelajaran usai di SDN 14 Desa Tani Baru, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berbunyi, mereka langsung berlari mengambil sepeda, menaikinya, lantas mengayuh lincah menyusur jembatan ini.

“Sudah biasa. Tidak pernah jatuh,” kata Aldo yang mengaku tidak takut licin.

Dia bahkan mengayuh sepedanya sambil membonceng temannya menuju Kampung Makassar.

Konstruksi jembatan ini kayu ulin mulai dari tonggak pondasi, kerangka, hingga lantai. Lebarnya setara rentang dua tangan orang dewasa. Jaraknya tak bisa diukur hanya pakai mata telanjang.

Sejauh mata memandang, jembatan membelah petak-petak tambak hingga hilang di batas cakrawala. Lantai jembatan berada sejauh jangkauan kaki di atas permukaan air tambak yang tidak beriak.

Jembatan yang dibangun bertahap dari tahun 2012 hingga 2016 ini tidak bernama.

Semua material pembangunan, mulai dari kayu, mur, baut, dan alat kerjanya, bahkan tenaga ahli pembangunannya disumbang salah satu kontraktor minyak dan gas yang menjalankan operasi tak jauh dari sana. Dengan melibatkan warga setempat, jadilah jembatan itu.

“Pembangunannya bertahap hingga lebih dari 7 kilometer,” kata Suprapti, staf bagian infrastuktur dan air bersih dari Divisi CSR Total E&P Indonesie.

Tiga dusun di dalam Tani Baru terhubung karena jembatan ini, yakni Tani Baru Dalam, Kampung Makassar, dan Muara Ilo sebagai ibukota desa.

Warga memiliki alternatif transportasi selain memanfaatkan kapal untuk aktivitas antar kampung, seperti belanja, jualan, dan jaga tambak, termasuk pergi dan pulang bagi anak sekolah.

Desa ini dihuni 4.000-an warga. Sekitar 200 kepala keluarga menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah milik pemerintah di Tani Baru Dalam jadi sekolah favorit desa.

Pasalnya, jenjangnya lengkap terdiri SD Negeri 14, SMP Negeri 4, dan kelas IPS jarak jauh (filial) dari SMA Negeri 1 Anggana, dalam satu kawasan. Sekolah itu kini menjadi tujuan ratusan siswa sekolah dengan 10 guru mengajar.

“Jembatan jadi penghubung warga yang dulunya hanya menggunakan perahu. Apalagi ini baik untuk anak sekolah, bisa bersepeda ke sekolah,” kata Suprapti.

Jembatan pun kini menjadi alat vital bagi para siswa untuk bisa pergi dan pulang sekolah.

Sementara itu, yang dusunnya tidak terhubung dengan jembatan ini, mereka terpaksa naik bus air. Tanpa jembatan, biasanya warga memanfaatkan perahu bermesin maupun bis air. Atau kalau kondisi terik dan kering bisa melintasi tubir-tubir tambak.

“Kini selain menghubungkan tiga dusun di Tani Baru juga menghubungkan jalan darat ke Desa Muara Pantauan,” kata Suprapti.

Pembangunan jembatan berlangsung bertahap, pertama dari Dusun Muara Ilo sampai Kampung Makassar pada 2012-2013. Panjangnya hingga 4,06 kilometer.

“Tidak mudah membangun di tahap awal. Tekanan masyarakat begitu besar,” kata Suprapti.

Setahun kemudian di tahun 2013 hingga 2014, mereka menghubungkan Dusun Tani Baru Dalam ke Kampung Makassar dengan Kampung Makassar sepanjang 2,3 km. Kemudian pada 2016, kedua jembatan itu dipertemukan oleh jembatan sejauh 955 meter.

Kini, dengan terhubungnya tiga dusun di Tani Baru, sekolah semakin berkembang. Anak dusun pun bisa leluasa sekolah. Dan bagi Aldo, naik sepeda jelas lebih menyenangkan. Sebagai anak penjaga tambak, tentu biaya ongkos sekolah lumayan besar.

Dua tahun sebelumnya, ketika tidak punya sepeda, ia harus mengeluarkan Rp 10.000 untuk pulang pergi naik bis air. Separuhnya adalah uang jajan. Aldo mengatakan, tentu lebih menyenangkan dengan bersepeda karena uang jajan jadi terasa lebih banyak.

“Ramai juga sama teman,” katanya.

lyas, Kepala Desa Tani Baru, mengatakan, jembatan kini jadi aset vital umum sejak warga 3 dusun terhubung. Mereka mudah berinteraksi. Anak sekolah di tempat jauh tidak lagi terlambat sekolah.

“Dulu kalau terlambat naik kapal ya lewat tambak-tambak,” katanya.

Wilayah Kecamatan Anggana di Kukar begitu luas hingga ke muara Sungai Mahakam. Kawasan itu juga dinamai Delta Mahakam. Bagian terluar dari delta terbagi tiga desa yang dikepung lautan, karenanya disebut juga sebagai tiga desa laut.

Desa Tani Baru yang pertama dan paling luar, kemudian Desa Muara Pantauan dan Desa Sepatin. Untuk mendatangi desa-desa itu harus menggunakan perahu atau kapal. Jaraknya sekitar 3 jam perjalanan menggunakan kapal bermesin dari Samarinda, ibukota Kaltim.

Masing-masing desa terdiri dari banyak sekali pulau kecil maupun besar dan berakhir menghadap laut lepas Selat Makassar.

Kalau di Muara Pantauan 60 persen terkumpul dalam daratan dan 40 persen terpisah lautan, Tani Baru sebaliknya. Sebanyak 60 persen wilayah terpisah lautan dan 40 persen terkumpul dalam daratan.

Karakter alam seperti ini membuat  pulau-pulau dipenuhi tambak, khususnya udang. Mata pencaharian warga di semua desa itu pun mengikuti kondisi alam, yakni mayoritas nelayan di laut dan penjaga tambak.

Tani Baru juga terdiri banyak pulau yang berisi tambak. Kelompok warga tumbuh dalam tiga dusun besar yang semula terpisah satu dengan lain, yakni Muara Ilo, Kampung Makassar, dan Tani Baru Dalam.

Jembatan kayu ulin sepanjang lebih dari 7 km ini kemudian menghubungkan ketiganya.


Sumber : https://today.line.me/id/article/bd455d438a9b56d887e04b0fe3395a66b9ed1317347d90e5f2654c1f1babe0ec