Kamis, 18 Mei 2017

Umat Islam Dalam Pandangan Orientalis

Interaksi dunia Barat dengan dunia Islam sebenarnya telah terjadi sejak lama. Istilah Barat yang identiK dengan Nasrani telah mengalami kontak dengan dunia Islam sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat beliau mengirim surat kepada Heraclius. Namun, saat itu belum terjadi kontak secara intens. Tidak ada pertukaran nilai dan norma. Barulah saat terjadi Perang Salib perkenalan dan pengaruh budaya begitu terasa. Orang-orang Eropa benar-benar merasakan dunia yang berbeda dari lingkungan mereka. Mereka mengenal dunia yang beradab, maju, dan teratur. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh seorang orientalis yang bernama Carole Hillenbrand dalam bukunya The Crusade, Islamic Perspectives.


Orang-orang Barat, secara khusus Eropa, mulai mengenal peradaban yang tinggi. Mulai mengenal adab dan norma. Mulai mengenal sebuah sistem yang modern. Atau kita katakana, Eropa baru mengenal peradaban.

Berikut ini beberapa pandangan orientalis tentang akhlak kaum muslimin:

Keadilan dan Kesetaraan

Seorang sastrawan dan filsuf Inggris, Thomas Carlyle, mengatakan, “Aku melihat sebuah sifat yang sangat mulia di dalam Islam. Yaitu nilai kesetaraan antar sesama manusia. Ini adalah pandangan yang benar dan nurani yang luhur. Manusia nilainya setara di dalam Islam. Islam tidak hanya menjadikan kegiatan berderma sebagai suatu amalan yang dianjurkan, akan tetapi ia menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Dan berderma itu (zakat pen.) merupakan bagian dari rukun Islam. Harta dari seseorang yang kaya dibagi dengan kadar tertentu, kemudian diberikan kepada orang-orang miskin, membutuhkan, dan mengalami kesulitan. Hal ini benar-benar indah. Dan yang demikian adalah nilai-nilai humanis, kasih sayang, persaudaraan, dan persamaan.” (Thomas Carlyle, al-Abthal, Hal: 80).

Menebarkan Kebaikan

Umat Islam adalah penebar kebaikan sebagaimana disaksikan oleh seorang cendekiawan dan ahli hukum asal Perancis, Douminique Sourdel. Sourdel mengatakan, “Tidak mungkin dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang terus-menerus menebarkan kebaikan hakiki, khususnya kebaikan di lingkungan sosial. Ini merupakan realisasi dari ajaran Alquran dan bersumber dari pesan-pesan Allah yang seakan menampakkan kontinuitas sebuah kebaikan. Dijelaskan dalam Alquran:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).

Saling tolong-menolong, menjamu tamu, dermawan, amanah, dan teguh pendirian sifat-sifat yang terdapat pada individu masyarakat. Demikian juga dengan adil, memiliki etos, dan kecukupan. Inilah nilai-nilai kebaikan yang senantiasa membuat umat Islam berbeda. Ini sesuatu yang benar adanya. Sifat-sifat yang menunjukkan kuatnya tabiat dasar manusia yang memberikan mereka kehormatan dan kemuliaan yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang Arab jahiliyah.” (Douminique Sourdel, al-Islam, Hal: 107).

Seorang orientalis dan sejarawan Barat, Will Durant, mengatakan, “Secara umum, umat Islam lebih baik dibanding orang-orang Nasrani dalam hubungan bertetangga, dalam memenuhi janji, dan ketulusan dalam perjanjian-perjanjian dengan selain mereka. Sejarawan sepakat bahwa Shalahuddin adalah orang yang paling mulia dibanding (para pemimpin) peserta Perang Salib lainnya. Umat Islam adalah orang-orang yang jujur dan tidak memiliki kebiasaan berbohong. Bohong hanya dibolehkan apabila berkonsekuensi selamat dari kematian (dalam kondisi darurat pen.), atau untuk menyelesaikan sengketa, atau membahagiakan istri, atau tipu daya dalam peperangan. Adab islami merupakan gabungan antara taklif syariat dan kebahagiaan. Komunikasi antara umat Islam penuh dengan penghormatan dan adab. (Dalam hal ini) Mereka seperti orang-orang Yahudi yang saling mengucapkan salam antar sesama mereka. Memberi penghormatan dan saling bersalaman. Salah seorang di antara mereka berkata “Assalamualaikum” Jawaban yang utuh dari salam penghormatan ini adalah “Aalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Memuliakan tamu adalah sifat yang sudah biasa. Umat Islam adalah sebuah contoh dari lemah lembut, humanis, dan toleran. Jika –kita nilai secara adil-, sifat umat Islam adalah cepat memahami, cerdas, sensitif (mduah tersentuh), memiliki kebahagiaan di hati dan pandai menghibur diri sendiri. Mereka ridha dalam keadaan lapang dan sabar dalam keadaan sulit. Mereka mengisi hari-hari mereka dengan kesabaran, kedermawanan, menjaga martabat, dan wibawa.” (Will Durant, Qishshatu al-Hadharah, 13/141).

Menyayangi Orang-orang Yan Lemah

Mungkin apa yang terjadi pada Perang Salib II menjadi pusat perhatian terbesar dalam penggalan sejarah Islam setelah pembebasan Kota Mekah. Seorang orientalis Inggris, Thomas Arnold, dalam buku-bukunya ia mencatat betapa banyak tentara salib yang datang ke negeri Timur lalu menjadi pemeluk Islam, padahal tujuan awal mereka adalah memerangi umat Islam. Mereka mendapati umat Islam lah yang perhatian terhadap mereka saat mereka menderita luka-luka pasca perang. Mereka pun terkesan dengan akhlak kaum muslimin kemudian memeluk Islam. Para pembesar tentara salib mencoba mengirim St. Amaury de Laroche untuk menguatkan iman Kristen para pasukan, namun upaya ini tidak memiliki arti yang besar.

Thomas Arnold mengatakan, “Orang-orang miskin dan yang sudah sepuh mereka tidak memiliki kemampuan untuk menyeberangi laut menuju Palestina. Orang-orang seperti mereka (jika berangkat) hanya akan menjadi tawanan, atau hanya mengantarkan nyawa, atau orang-orang Arab akan mengubah agama mereka. Seandainya pun mereka tidak memeluk Islam, mereka akan sangat terkesan hidup di negeri muslim. Di bawah naungan dan diperintah para pemimpinnya. Mereka akan sangat bahagia dan menerima pemimpin mereka yang baru (yakni umat Islam).” (Thomas Arnold, ad-Dakwah ilal Islam, Hal: 108).

Demikian juga seorang orientalis Jerman, Sigrid Hunke. Hunke mengisahkan sebuah dokumen penting yang merupakan catatan dari tentara salib saat menjadi tawanan Sultan al-Kamil al-Ayyubi. Hunke mengatakan, “Saat Sultan al-Kamil memenangkan pertempuran pada tahun 1221 M, ia memperlakukan tawanannya dengan hormat. Ia tidak mengqishas tawanan tersebut; mata dengan mata dan gigi dengan gigi. Yang ia lakukan adalah memberikan mereka makanan. Ia mengirimkan uang sebanyak 30.000 Raghif. Dan memberi makanan lainnya. Apa yang dilakukannya ini disaksikan oleh seorang tawanan yang merupakan seorang filsuf dan teolog Jerman dari Kota Cologne yang bernama Oliveros.

Belum pernah terdengar sekelompok pasukan memperlakukan tawanannya dengan cara lemah lembut dan dermawan seperti ini, khususnya tawanan yang merupakan musuh di medan peperangan… … (tawanan mengatakan) Orang-orang yang kami bunuh ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, dan kami perlakukan dengan kejam, ternyata kemudian kami menjadi tawanan mereka. Dan hampir-hampir kami mati kelaparan. Mereka malah mengutamakan diri kami dibanding mereka sendiri. Mereka membantu kami dengan segala daya dan upaya. Kami merasakan kasih sayang mereka, padahal saat itu kami tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan.” (Sigrid Hunke, Allahu Laysa Kadzalik, Hal: 33).

Interaksi Umat Islam dengan Non Islam

Pembahasan ini termasuk materi yang paling banyak dibicarakan oleh orang-orang di luar Islam. Tema ini pula merupakan sesuatu yang paling kentara dan jelas perbedaannya antara masyarakat Islam dan masyarakat non muslim. Dalam tulisan ini, cukup kami cuplikkan tiga hal saja dari banyak contoh yang banyak tertulis:

Pertama: Henri de Castries –seorang penulis dan veteran militer Perancis di Aljazair- mengatakan, “Saya telah membaca sejarah (berbagai bangsa pen.). Saya mendapati bahwasanya interaksi umat Islam dengan kaum Nasrani jauh dari rasa kebencian. Mereka berinteraksi dengan baik dan meringankan. Lemah lembut dan indah. Sebuah interaksi yang di masa itu tidak ditemui kecuali hanya ada pada kaum muslimin. Mereka sangat lemah lembut. Kasih sayang mereka sangat jelas terlihat tatkala orang-orang Eropa berada dalam kondisi lemah.” (Henri de Castries, al-Islam Khawathir wa Sawanih, Hal: 79).

Kedua: Seorang orientalis Jerman, Adam Metz, mengatakan, “Keberadaan orang-orang Nasrani di tengah-tengah kaum muslimin adalah sebab munculnya toleransi yang digembar-gemborkan orang-orang saat ini. Keharusan untuk hidup berdampingan adalah alasan pertama yang memunculkan sikap toleransi ini. Yang di abad pertengahan belum dikenal di Eropa. Bukti dari adanya toleransi ini adanya ilmu perbandingan agama atau kajian agama-agama dan madzhab-madzhab dengan berbagai coraknya. Dan ilmu ini mendapat sambutan yang luar biasa.” (Adam Metz, al-Hadharah al-Islamiyah fi al-Qarni ar-Rabi’ al-Hijri, 1:61).

Ketiga: Orang-orang non Islam lebih menerima hukum Islam dibanding tata aturan penguasa mereka. Mereka yang dianiaya di negeri-negeri mereka melarikan diri ke negeri Islam. Seorang orientalis Perancis, Maxime Rodinson, menyatakan bahwa di Italia banyak pemerintah otoriter yang membuat rakyatnya menderita. Saat para penguasa di wilayah ini berencana menyerang Turki, maka rakyat menganggap inilah momen yang tepat untuk melarikan diri dari negeri mereka menuju negeri muslim. Hal ini juga pernah dirasakan orang-orang Yahudi yang tertindas oleh pemerintah Nasrani di Spanyol (Maxime Rodinson, ash-Shurah al-Gharbiyah wa ad-Dirasat al-Gharbiyah wa al-Islamiyah, Hal: 49).

Kasih Sayang Umat Islam Kepada Hewan

Seorang orientalis Perancis, Gustave Le Bon, mengatakan, “Orang-orang timur memperlakukan anjing dan hewan-hewan lainnya dengan penuh kasih sayang. Anda tidak akan melihat orang Arab menyakiti hewan. Menyakiti hewan adalah kebiasaan penunggang hewan di Eropa. Secara naluriah, mereka orang-orang Arab memperlakukan hewan dengan lemah lembut. Dan tidak berlebihan (jika kita katakan) wilayah Timur adalah surga bagi para hewan. Di Timur, berbagai macam hewan dipelihara. Ada anjing, kucing, dan burung-burung. Anda bisa mendapati burung-burung di masjid. Bertengger di atas pintu-pintunya dengan tenang… …Saya diceritakan bahwa di Kairo, di sebuah masjid, ada seekor kucing yang datang pada jam-jam tertentu untuk makan di sana. Sejak lama, ada seseorang yang memberinya makanan… …Hendaknya orang-orang Eropa meneladani banyak hal dari lemah lembutnya orang-orang Timur.” (Gustave Le Bon, Hadharatu al-Arab, Hal: 360-361).

Penutup

Dari keterangan para orientalis di atas, kita dapat mengetahui betapa indahnya jika syariat Islam diterapkan. Kita juga mengetahui bahwa sejarah Islam tidak melulu tentang konflik internal, peperangan, dan hal-hal negatif lainnya. Sejarah Islam terkesan negatif karena maraknya tulisan-tulisan dusta tentang sejarah Islam yang dikarang para orientalis yang tidak jujur kemudian diikuti oleh generasi Islam yang mengekor pemikiran mereka.

Kemudian opini kita juga digiring dengan pemberitaan yang melahirkan rasa kecewa pada jiwa kita. Kita selalu dijejali berita-berita peperangan di Timur Tengah, konflik dan kekejaman yang ada di sana. Hingga kita benar-benar merasa sulit membayangkan, bagaimana bisa Islam diturunkan di daerah yang demikian. Bagaimana bisa orang-orang seperti mereka, dahulu digambarkan dengan sifat-sifat yang indah dana amanah? Apakah mungkin nenek moyang mereka adalah orang-orang yang begitu shaleh sebagaimana yang ada di buku-buku sejarah Islam?

Kabar miring demikian berpengaruh pada jiwa-jiwa yang lemah. Mereka mulai alergi dengan ucapan Allahu Akbar, karena seoalah-olah bermakna emosi dan kekacauan. Ketika kata Arab disebut, maka yang terbayang di benak mereka adalah bar-bar, syahwat, kasar, dll. Mereka mulai mengeneralisir kabar-kabar parsial yang datang kepada mereka dengan kemasan yang massif. Namun bagi orang-orang yang Allah beri taufik, kabar-kabar tersebut adalah sebagaimana firman Allah:

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 32).

Orang-orang yang di hatinya terdapat persangkaan baik terhadap sesama kaum muslimin senantiasa diperlihatkan fakta yang berbeda dari orang-orang yang lemah, putus asa, dan kecewa.

Dan tugas kita kaum muslimin saat ini adalah berpegang teguh dengan ajaran agama kita, sehingga kesan positif demikian kembali menjadi ciri kaum muslimin.


Sumber : http://kisahmuslim.com/4873-umat-islam-dalam-pandangan-orientalis.html