Rabu, 10 Mei 2017

Mengapa Sakit Ini Harus Memisahkanku Dari Anak-anakku?

23 tahun. Bagi seorang gadis muda, usia tersebut adalah masa - masa keemasan dan saat indah dalam hidupnya. Saat mekar-mekarnya berkembang dalam karir dan menapaki kehidupan yang sesungguhnya selepas kuliah. Namun, rupanya hal itu tidak berlaku untuk Manja, demikian sebutan yang diberikan oleh para anggota keluarga terdekatnya.


Dalam kondisinya yang terbatas, Manja terpaksa harus menuntaskan kisah hidupnya lebih awal dari perjalanan hidup rata - rata manusia di dunia. Dia meninggal beberapa minggu yang lalu karena leukimia, penyakit yang dideritanya sejak usia 5 tahun. Sebuah perjuangan panjang mempertahankan kehidupan, yang akhirnyapun tak dimenangkannya. Ia terpaksa takluk kepada penyakit yang semakin menggerogoti kekebalan tubuhnya melalui darah putih yang tertimbun dalam saluran darahnya. Manja meninggal Jumat dini hari setelah mengalami pendarahan hebat. Saat dibawa ke ruang gawat darurat, segalanya telah terlambat. Dia...wafat.

Kuburannya masih baru. Bunga - bungapun masih segar dan belum layu. Nisan kayu ditancapkan di kedua ujungnya, terpancang kaku, menjadi saksi bisu. Di sebuah pemakaman muslim di tengah kota dan pulau yang mayoritas beragama Hindu, makam Manja nampak berbeda dengan makam lainnya. Gundukan tanah makam baru memang akan selalu melahirkan perasaan tercekat bagi yang kebetulan lewat dan melihat. Dan harupun akan merayap mendinginkan kalbu.

"Mam, Manja ingin pergi ke Jawa. Manja kangen sama anak - anak Manja. Mereka juga kangen ingin bertemu."

Anak - anak? Apakah Manja sudah memiliki anak? Kapan menikahnya? Ataukah Manja memiliki anak angkat? Ternyata, manja sudah menganggap dua anak laki - laki, kakak beradik yang dikenalnya melalui media sosial sebagai anaknya. Bahkan saking begitu jatuh cintanya, Manja sampai merasakan bahwa mereka berdua adalah anak - anak yang terlahir dari rahimnya. Bisakah seorang gadis lepas remaja yang baru berusia 23 merasakan magisnya perasaan memiliki anak kandung layaknya melahirkan dari rahimnya sendiri? Ataukah Manja hanya terbawa perasaan dalam kegalauannya menghadapi deraan demi deraan penyakitnya? Ataukah memang cinta itu sebentuk anugerah rasa sayang dari Tuhannya yang ingin memberikan kesempatan untuk memiliki rasa keibuan? Misteri, rasa penasaran dan pertanyaan - pertanyaan ini tak akan terjawab, karena Manjapun sudah tak bisa menjelaskan dan menggambarkan apa yang dia rasakan. Karena dia terlebih dulu pergi selamanya menjawab panggilan Tuhan. Bahkan sebelum Manja dan kedua 'anak - anak'nya dipertemukan.

Bagaimanakah rasa, arti dan makna menjadi seorang ibu yang dimiliki seorang perempuan untuk anak - anaknya? Tak terlukiskan, pun tak akan bisa dijelaskan dalam tulisan ini. Hanya seorang perempuan yang pernah melahirkan anak - anaknya, berjuang membesarkannya, lalu larut dalam suka dukanyalah yang bisa merasakannya. Bagaimana dengan Manja, yang tak pernah melahirkan kedua anak laki - laki yang hanya dikenalnya melalui media sosial, lalu hanya berkomunikasi jarak jauh dalam kondisi saling berjauhan? Rasa keibuankah yang dimiliki? Atau hanya ilusi? Sekali lagi keheranan akan rasa yang dimiliki Manja ini tetap tak akan terjawab dan akan menjadi misteri. Namun lihatlah, dalam laptop dan gadget milik Manja yang kemudian dibuka oleh keluarganya tak lama sepeninggal Manja menghadap Tuhan. Foto - foto, rekaman video dan suara 'anak - anaknya' yang saling ditukar-kirimkan, tersimpan dengan rapinya. Bahkan foto anak - anaknya lah yang menghiasi layar laptop dan HPnya hingga di saat - saat terakhirnya tiba. Dan dalam satu tulisan harian di laptopnya tertuliskan: ".... kenapa kau pisahkan aku dari anak - anakku, senyumku, bahagiaku, selamanya."

Mujizat dalam rasa yang tumbuh di hati berkaitan memang sesuatu yang tak terjelaskan. Namun dari sekian alasan yang paling masuk akal, ada satu hal yang mungkin bisa menjelaskan rasa keibuan yang tumbuh di hati Manja seiring dengan perkenalannya dengan anak - anak yang tak dilahirkannya dan belum pernah dijumpainya. Sejak awal - awal perkenalan mereka, anak - anak sudah terbiasa memanggil Manja dengan sebutan 'Mama'. Sebuah sebutan yang sakral dan bisa mewakili sebuah hubungan yang sedemikian kuatnya. Sebuah sebutan yang didalamnya terkandung cinta, hormat, perhatian dan juga pengakuan tertinggi untuk seorang perempuan dari 'anak - anaknya'. Namun sayangnya, itupun hanya kemungkinan saja. Karena Manja telah tiada.

Dan hanya ucapan yang bisa menjadi pengiring langkah kepergian Manja, dari anak-anaknya, "Selamat jalan, Mama ..."


Sumber : https://www.vemale.com/inspiring/lentera/99605-mengapa-sakit-ini-harus-memisahkanku-dari-anak-anakku.html