Jumat, 05 Mei 2017

Ibu, Tak Salah Jika Engkaulah Yang Menggenggam Kunci Surga

Tiga hari ini saya tidak menulis tapi membaca. Karena menulis tanpa membaca seperti menyanyi tanpa meniti tangga nada. Sumbang tiada harmoni di dalamya. Dan tiga hari ini saya belajar membaca bukan hanya dengan pupil mata untuk melihat, tapi juga dengan teropong hati untuk berempati. Tiga hari ini pun saya membaca bait-bait syair kehidupan manusiawi yang tak terperi. Syair kehidupan para perempuan terdzolimi yang berhasil berdiri tegak dengan berbagai upaya, cara dan jalan mereka sendiri - sendiri.


Perempuan pertama bercerita, "Bukan sekali, bukan 17 kali, tapi sudah 'ping seket buntet' aku dikhianati sampai akhirnya aku mendapatkan persetujuan dari anakku satu - satunya untuk melepaskan diriku dari mantan suami." Lalu perempuan kedua bercerita tak mau kalah, "Pagi ini, mantan suamiku mengancam, mengintimidasi dan menerorku kembali. Dia hendak merebut hak asuh anak-anak dariku, untuk kemudian diberikan pada keluarga mapan yang mau mengadopsi."

Melanjutkan ceritanya, perempuan pertama berceloteh, "Mantan suamiku, tiga kali kupergoki di hotel bersama tiga wanita yang berbeda dan tiga kali pula aku mengampuninya. Kenapa? Anak laki-lakiku tak mau kehilangan ayahnya dan malu menjadi anak broken home. Sampai akhirnya, anakku menyadari sendiri bahwa dia pun tak pernah menjadi nomor satu bagi ayahnya. Bahkan hanya berada di nomor kesekian di hati dan pikiran ayahnya. Akhirnya dia memintaku untuk berpisah dari ayahnya." Perempuan kedua kembali berkeluh kesah, "Dia kembali, setelah gagal dalam hubungannya dengan perempuan yang telah membuatnya meninggalkanku dan ketiga anak-anak kecil kami. Dan kini justru dia kembali untuk merebut anak-anak lalu memberikan mereka kepada keluarga kaya untuk diadopsi."

Bacaan akan syair kehidupan para perempuan, para ibu, para janda yang diperlakukan sedemikian 'asal dan sembarangan' oleh para mantan suaminya. Mereke awalnya berjanji sehidup semati mengarungi samudera kehidupan ini. Namun, kenyataan di tengah perjalanan, perubahan yang sangat bertolak belakang terjadi. Para laki-laki, para suami dan para ayah yang diharapkan menjadi pemelihara, pelindung dan pahlawan pembela, berubah menjadi 'momok' menakutkan bagi istri dan anak-anak mereka.

Yang saya ceritakan barulah dua contoh syair kehidupan yang dalam tiga hari ini. Makna yang harus dipahami dari kedua cerita di atas masih sangat samar terbaca. Namun setidaknya ada satu pesan kuat yang tersampaikan kepada saya, bahwa mereka adalah perempuan-perempuan yang kuat menjalani ujian terberat kedua setelah kelahiran anak-anak mereka. Lebih kuat dari apa yang selama ini dibayangkan oleh saya, sebagai laki-laki dan sekaligus duda beranak dua.

Pantas jika kepada para perempuan disematkan 'kunci surga' bagi anak-anak mereka. Namun masih saja banyak laki-laki yang justru menciptakan 'neraka' bagi mereka. Walau kenyataannya kemudian, para perempuan itu bisa keluar dari 'neraka' yang diciptakan untuk mereka dengan tetap kuat dan tegar  bersama anak-anaknya. Maka belajarlah kepada para perempuan, para ibu, para pejuang yang rela menahan panasnya 'neraka' dunia, lalu keluar selamat darinya dengan berbagai macam pedih dan luka. Karena di dalam hatinya mereka selalu menggenggam 'kunci surga' bagi diri mereka sendiri, yakni anak-anaknya.


Sumber : https://www.vemale.com/inspiring/lentera/101930-ibu-tak-salah-jika-engkaulah-yang-menggenggam-kunci-surga.html