Kamis, 04 Mei 2017

Bagaimana Sebenarnya Hukum Musik?

Sudah diketahui bahwa musik memang menghanyutkan jiwa dan terkadang membangkitkan nafsu, namun masih ada orang yang dianggap mufti atau ustad membolehkan bernyanyi dalam batas-batas tertentu. Mohon penjabarannya, adakah sahabat yang membolehkan alat-alat musik dan nyanyian?


Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menjawab:
Hidup di akhir zaman, siapa saja tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari “gitar” dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al Haq (penerang Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan Kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Allah.
Lalu apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada Kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan kalam-kalam para ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.

Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan dan juga perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian. Mungkin kita adalah di antara orang-orang yang gandrung. Semoga dengan mengetahui hal ini, Allah membuka hati kita dan memberi hidayah pada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).

Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”

[Pertama] Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih” (QS. Luqman: 6-7)

Ibnu Jarir Ath Thabariy –rahimahullah– dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsiran ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsiran ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu– mengatakan, “Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali. (Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, 20/127).

Begitu pula tafsiran yang sama dikatakan oleh Mujahid, Sa’ib bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang). (Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105).

Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untul makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in. (Lihat Fathul Qadir, 5/483)

Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”

Maka cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa sebagai hujjah bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap yang haus akan ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –di mana para sahabat lah yang menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya beliau mengatakan bahwa menurutnya tafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah tafsiran sahabat, tetap tafsiran mereka lebih didahulukan daripada tafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup.”(Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/240)

Jadi, jelaslah bahwa makna lahwal hadits dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Kedua] Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (QS. An Najm: 59-62)

Apa yang dimaksud saamiduun?

Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas. (Lihat Zaadul Masiir, 5/448)
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, lalu mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).” (Ighatsatul Lahfan, /258)
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian

[Hadits Pertama]

Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas). Jika dikatakan ‘menghalalkan musik‘, berarti musik itu haram.

Hadits di atas dishahihkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Begitu pula hal yang sama dikatakan oleh An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.

Memang ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan cacatnya hadits di atas, sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak me-maushul-kan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim:

Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, maka itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.

Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh tegas (jazm). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm (tegas), maka sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena begitu banyak orang yang meriwayatkan dari Hisyam dan dia adalah guru yang sudah sangat masyhur. Sedangkan Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).

Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih[?]

Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …]”, maka itu sama saja beliau nengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, maka hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya. (Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260)

[Hadits Kedua]

Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh, akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Hadits Ketiga]

Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau mengatakan,

Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian Ibnu ‘Umar terus berjalan, lalu aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari dua hadits pertama dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhi dari mendengar musik, sehingga hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.

Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik tatkala mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak berdosa. Maka cukup kami katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah),“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/567)

Perkataan Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”

Al Qasim bin Muhammad pernah ditanyakan tentang nyanyian lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’[?]”

‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah: ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”

Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”

Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.” (Lihat Talbis Iblis, 289)

Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian

Imam Abu Hanifah membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa. (Lihat Talbis Iblis, 282)

Imam Malik bin Anas pun melarang nyanyian dan melarang mendengarkannya. Sampai-sampai Imam Malik mengatakan, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.” (Talbis Iblis, 284)

Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.” (Talbis Iblis, 283)

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.” (Talbis Iblis, 280)

Bila Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga sekali, beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, maka pasti dia akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”

Lalu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.” (Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/543)

Jadi perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’ yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.

Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, maka mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/567)

Sebagai penutup, kami hanya katakan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah dengan mendengarkan Al Qur’an karena inilah yang disyari’atkan dan inilah yang bisa menata dan menghidupkan hati. Jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.


Sumber : https://jauhilahmusik.wordpress.com/2011/05/27/bagaimana-sebenarnya-hukum-musik/